Babilon - Babil (Bagdad/Iraq) adalah tempat
asal segala tamadun buat insan serta juga tempat dimana diturunkan dua
orang malaikat, Harut dan Marut (هاروت وماروت) yang mengajar manusia
banyak rahsia-rahsia alam namun syaitan juga berjaya menggunakan rahsia-rahsia tersebut sebagai alat kemuncaknya ilmu hitam atau ilmu sihir buat insan didunia.
Kisah ini disebutkan di dalam Al Qur’an dalam surah Al Baqarah ayat 102 :
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا
كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ
النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ
وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا
نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا
يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ
مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ
وَلَا يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي
الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ
كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
syaithan-syaithan pada masa kerajaan Sulaiman. (Dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(tidak mengerjakan sihir), hanya syaithan-syaithanlah yang kafir
(mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa
yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut
dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun
sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir”.
Maka mereka mempelajari dari kedua
malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara
seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak
mampu memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan
izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini
bahawa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu,
tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual diri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Al Baqarah :
102)
Para Mufassirin berlainan pendapat tentang yang dimaksud
dengan 2 orang malaikat itu. Pendapat pertama, Harut dan Marut adalah
dua nama kabilah jin yang mengajarkan sihir. Dengan demikian kata Harut
dan Marut merupakan badal dari kata ‘asy-syayâthîn’ (setan-setan).
Pendapat ini adalah dinisbahkan oleh Ibnu Katsir kepada pendapatnya Ibnu
Hazm, hanya saja Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan pendapat ini
adalah pendapat yang sangat aneh dan asing.
Lalu jika Harut dan
Marut merupakan badal dari kata ‘asy-syayâthîn’, lalu siapakah yang
dimaksud dengan ‘malakain’ dalam ayat tersebut? Menurut pendapat ini,
kata ‘malakain’ dimaksudkan adalah Jibril dan Mikail. Hal ini mengingat
orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Allah telah menurunkan Jibril dan
Mikail untuk mengajarkan sihir, lalu Allah menolak anggapan tersebut,
dengan mengatakan: “Sulaiman tidak kufur (tidak mengajarkan sihir), juga
demikian dengan Jibril dan Mikail. Akan tetapi yang kufur itu adalah
setan-setan, di mana merekalah yang mengajarkan sihir kepada manusia di
daerah Babil, yaitu melalui Harut dan Marut”.
Demikian
penggambaran Imam al-Qurthubi dalam al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’an-nya,
ketika menggambarkan penafsiran pendapat pertama. Hanya saja, pendapat
ini, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir adalah pendapat yang sangat aneh
dan asing (aghrab jiddan).
Pendapat kedua mengatakan, Harut dan
Marut adalah manusia jahat yang mengajarkan sihir di daerah Babil, dan
Babil adalah sebuah daerah di Irak atau di Kufah. Pendapat ini
diutarakan oleh Imam Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya Jâmiul Bayân
fi Ta’wîl Al-Quran, ketika menjelaskan beberapa pendapat seputar maksud
Harut dan Marut. Namun demikian, di akhir pemaparan Imam at-Thabari
melemahkan pendapat ini.
Jika yang dimaksudkan dengan Harut dan Marut adalah manusia biasa, lalu siapa yang dimaksud dengan ‘malakain’?
Sebagaimana pendapat pertama, pendapat ini mengatakan bahwa ‘malakain’
maksudnya adalah Jibril dan Mikail. Ini untuk menolak anggapan orang
Yahudi saat itu yang mengatakan bahwa Nabi Sulaiman bin Daud bukan
seorang Nabi akan tetapi seorang tukang sihir, yang mana sihirnya itu
diajarkan melalui Jibril dan Mikail. Allah kemudian membantah anggapan
demikian dengan mengatakan bahwa Jibril dan Mikail tidak mengajarkan
sihir sedikitpun, sehingga dengan demikian Nabi Sulaiman terbebas dari
tuduhan tersebut. Kelebihan yang dimiliki Nabi Sulaiman, bukanlah hasil
dari sihir akan tetapi mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi-Nya.
Pendapat ketiga, mengatakan Harut dan Marut adalah orang shaleh dan
sangat baik yang tinggal di Babil. Karena kesalehannya, orang-orang
memuliakan dan menganggapnya seperti malaikat. Dengan demikian, kata
‘malakain’ dalam ayat di atas merupakan bentuk isti’arah atau majaz dari
dua sosok manusia saleh yang bernama Harut dan Marut. Karenanya, kata
Harut dan Marut merupakan badal dari kata ‘malakain’ hanya dalam
pengertian majaz bukan pengertian sebenarnya sebagai malaikat.
Harut dan Marut, menurut pendapat ini, dapat mengetahui sihir dan bahkan
keduanya yang meletakkan dasar-dasar ilmu sihir di negeri Babil, Irak.
Keduanya orang baik dan tidak kufur dengan sihirnya itu, hanya saja
orang-orang setelahnya yang menggunakan ilmu sihir tersebut untuk
hal-hal tidak baik sehingga mereka menjadi kufur. Demikian pemaparan
Thahir bin Asyur dalam at-Tahrir wat Tanwir-nya, ketika menjelaskan ayat
102 dari surat al-Baqarah.
Harut dan Marut, lanjut Ibnu Asyur,
adalah dua nama suku Kaldan. Kata Harut merupakan nama Arab dari bahasa
Kaldan, Hârûkâ, yang merupakan nama bulan sebagai symbol perempuan bagi
suku Kandan. Sedangkan Marut merupakan nama Arab dari kata Mârûdâkh,
yang merupakan nama bintang bagi suku Kaldan, sebagai simbol laki-laki.
Baik Hârûkâ maupun Mârûdâkh keduanya merupakan di antara bintang yang
disucikan dan disembah oleh suku Kandan. Dan penyandaran kedua nama ini
kepada nama bintang, adalah karena keyakinan mereka bahwa setiap orang
saleh ketika sudah meninggal dunia, ia akan naik ke langit dan berubah
dalam bentuk bintang atau benda langit lainnya. Dengan demikian, Harut
dan Marut adalah dua orang saleh yang namanya kemudian diabadikan
sebagai nama bintang sembahan suku Kaldan. Demikian pemaparan Ibnu Asyur
dalam tafsirnya.
Sebagian ulama membacanya bukan ‘malakain’,
akan tetapi ‘malikain’ (dengan membaca kasrah huruf lam-nya yang berarti
dua raja). Di antara ulama yang membaca dengan ‘malikain’ ini,
dinisbahkan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, kepada pendapatnya
ibnu Abbas, Ibn Abza, ad-Dhahhâk dan al-Hasan al-Bashri. Dan yang
dimaksud dengan dua raja ini adalah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Hanya
saja, bacaan ini adalah bacaan yang syadzdzah (ganjil), dan dilemahkan
oleh Ibnul Araby.
Pendapat keempat, Harut dan Marut adalah
malaikat yang diturunkan oleh Allah sebagai ujian dan cobaan bagi
manusia saat itu. Keduanya mengajarkan sihir, dengan maksud agar
orang-orang dapat membedakan mana sihir dan mana mukjizat. Hal ini
penting mengingat sihir di daerah Babil saat itu sudah sangat membudaya
dan membesar, sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan antara
mukjizat dan sihir. Mereka menganggap para nabi yang diutus bukan
sebagai nabi akan tetapi tukang sihir. Allah lalu menurunkan dua
malaikat, Harut dan Marut sebagai ujian bagi manusia saat itu. Mereka
yang beriman akan tetap kokoh dengan keimanannya, dan mereka yang tidak
beriman akan teperdaya dengan sihir tersebut.
Pendapat ini
mengatakan, bahwa kata Harut dan Marut merupakan badal dari kata
‘malakain’, yang berarti dua malaikat dalam pengertian sebenarnya. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya mengatakan, pendapat ini merupakan pendapat
Jumhur ulama salaf, termasuk juga pendapat sebagian besar mufassirin,
baik yang dahulu maupun yang belakangan.
Lalu jika ditanyakan,
kalau seandainya Harut dan Marut itu adalah malaikat, bagaimana mungkin
dia mengajarkan sihir yang jelas-jelas sangat dilarang?
Imam
at-Thabari menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan: “Sesungguhnya
Allahlah yang telah menurunkan kebaikan dan kejahatan semuanya. Dan
Allah juga menjelaskan akibat dari semua itu kepada hamba-hamba-Nya.
Allah kemudian mewahyukan kepada para utusan-Nya untuk mengajarkan
kepada makhluk-Nya mana yang halal dan mana yang haram bagi mereka. Hal
ini seperti zina, mencuri dan seluruh perbuatan maksiat lainnya yang
diperkenalkan kepada manusia serta melarang manusia melakukannya. Dan
Sihir juga termasuk salah satu dari makna dimaksud, yang disampaikan dan
dilarang untuk menggunakannya”.
Imam at-Thabari kemudian
menukil pendapat yang mengatakan: “Mereka juga berpendapat: “Mengetahui
ilmu sihir itu tidak berdosa, sebagaimana tidak berdosanya seseorang
yang mengetahui cara membuat minuman keras, memahat patung. Letak dosa
itu manakala ia mengamalkannya dan mempraktikkannya”. Demikian di antara
pemaparan Imam at-Thabari mengokohkan pendapat keempat ini.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menguatkan pendapat tersebut dengan
mengatakan bahwa Harut dan Marut merupakan dua malaikat yang diturunkan
menjelaskan bahaya sihir sebagai ujian dan fitnah bagi manusia. Dan bagi
Allah, lanjut al-Qurthubi, sangat berhak untuk menguji hamba-Nya
menurut kehendak-Nya, sebagaimana Dia telah menguji dengan sangat
Thalut. Karena itu, kedua malaikat itu berkata: “kami adalah fitnah
maksudnya ujian dari Allah, kami mengabarkan bahwa sihir itu adalah
perbuatan kufur. Jika kamu mengikuti nasihat kami, niscaya akan selamat,
dan jika kamu tidak mengikuti kami, niscaya kamu celaka dan binasa”.
Dalam kesempatan lain, Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa Harut dan
Marut itu diturunkan untuk mengajarkan kepada manusia larangan melakukan
sihir. Keduanya mengatakan: “Janganlah kalian melakukan ini, jangan
melakukan itu”, dan seterusnya.
Syaikh Thanthawi, rahimahullah,
Syaikhul Azhar sebelumnya, dalam tafsirnya at-Tafsîr al-Wasîth
menuturkan: “Jumhur mufassirin berpendapat bahwa kedua malaikat itu
adalah dalam pengertian sebenarnya malaikat. Keduanya diturunkan oleh
Allah untuk mengajarkan sihir kepada manusia sebagai ujian dan cobaan.
Hal ini untuk menolak anggapan tukang sihir saat itu yang mengatakan
bahwa para nabi itu dusta, juga mereka memengaruhi dan mengajak
orang-orang saat itu untuk menyembah selain Allah. Kemudian Allah
mengutus dua malaikat yang bernama Harut dan Marut.
Hanya saja,
keduanya tidak mengajarkan sihir kepada siapa pun kecuali keduanya
menasihati dengan mengatakan bahwa apa yang diajarkannya itu adalah
bentuk sihir yang tujuannya sebagai ujian, untuk memisahkan mana yang
mengikuti kemaksiatan sehingga ia sesat dibuatnya, dan mana yang
meninggalkan kemaksiatan sehingga ia berada dalam petunjuk dan cahaya
dari Allah. Di samping itu juga untuk menampakkan perbedaan yang nyata
antara mukjizat dengan sihir”.
Kemudian perlu disampaikan juga,
riwayat-riwayat yang berkaitan dengan kisah Harut dan Marut ini sangat
banyak. Riwayat-riwayat dimaksud datang bukan dari Rasulullah saw, akan
tetapi dari para tabi’in, seperti Mujahid, Hasan Bashri, Qatadah dan
lainnya. Tidak ada riwayat yang sahih yang langsung menyambung kepada
Rasulullah saw.
Ada satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnad-nya yang bersambung kepada Rasulullah saw, hanya saja
riwayatnya lemah, karena di dalamnya ada rawi bernama Musa bin Jubair,
yang oleh para ulama hadis seperti Imam al-Haitsami dalam Majmauz Zawâid
dinilai sebagai rawi daif. Terlebih, menurut para ulama,
riwayat-riwayat seputar kisah Harut dan Marut yang banyak disebutkan
dalam kitab-kitab tafsir seperti dalam Tafsir at-Thabari adalah
berita-berita Israiliyyat yang tertolak.
Mengakhiri pembicaraan
Harut Marut ini, ada perkataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika
menafsirkan surat al-Baqarah ayat 102 di atas. Ibnu Katsir mengatakan:
“Kisah Harut dan Marut banyak diriwayatkan kisahnya dari sekelompok
tabi’in seperti Mujahid, as-Suddy, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Abul
‘Âliyyah, az-Zuhry, ar-Rabi’ bin Anas, Muqatil, Ibnu Hayyan dan yang
lainnya. Demikian juga, kisahnya banyak diceritakan oleh para mufassir,
baik yang terdahulu ataupun yang belakangan. Kesimpulannya, semua kisah
secara teperincinya merupakan kisah-kisah Bani Israil, karena tidak ada
satu pun hadis Marfu’ yang sahih yang bersambung sanadnya kepada
Rasulullah saw yang menceritakan akan hal itu. Sedangkan Al-Quran
menceritakan kisahnya secara global, tanpa penjelasan yang panjang.
Karena itu, kami mengimani apa yang ada dalam Al-Quran menurut kehendak
Allah, dan hanya Allah yang lebih mengetahui hakikat sebenarnya.
- Kisah-kisah yang dipetik dari Israeliyat adalah tidak dilarang
mengambilnya selama-mana ianya tidak bercanggah dengan Islam serta tidak
menyakini sepenuhnya akan kebenaran kisah tersebut lantaran tidak
disabdakan sendiri oleh Rasulullah.
Namun nama Harut dan Marut adalah jelas difrimankan sendiri oleh Allah Taala berfirman:
وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ
“Dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat…” (Al Baqarah : 102)
Ini bukanlah termasuk Israiliyyat, ini dari Al Qur’an. Mereka adalah
dua malaikat yang diturunkan oleh Allah untuk menguji manusia;
إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
“Sesungguhnya kami hanya cubaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al Baqarah : 102)
Keduanya adalah malaikat yang diturunkan oleh Allah untuk menguji manusia dalam perkara ini.
Tuesday
Sunday
(Ihya' Ramadan) Syeikh Nuruddin - Puasa Itu Adalah Untuk Ku
Puasa dibulan ramadhan merupakan amalan yang diwajibkan kepada seluruh kaum muslimin, yang memiliki begitu banyak keutamaan, yang diantaranya adalah apa yang diriwayatkan di dalam hadits Qudsi, bahwasanya Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
((قال الله تعالى :كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ)
Ini merupakan Hadits yang agung dari
Rasulullah yang diriwayatkan dari Allah (dalam hadits Qudsi _pent)
bahwasanya Allah berfirman :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
”Sesungguhnya amalan anak adam adalah
untuknya, kecuali puasa maka dia adalah untukKu dan Aku sendiri yang
akan membalasnya” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
Saturday
Posisi kaki dalam sholat - 2
Terdapat
golongan (cthnya golongan salafiyun) yang cuba mewajibkan cara
menempelkan kaki diantara jemaah dalam bersholat, sehingga kelihatan
mereka selalu dalam keadaan memaksa makmun disebelahnya menempelkan
kaki dengan mereka atau mereka sengaja merenggangkan kakinya sehingga
terbuka luas agar dapat menyentuh kaki jemaah disebelahnya, namun
apakah benar perbuatan sebegini berhukum wajib dalam bersholat
berjemaah?
Pertamanya,
terdapat hadis-hadis perintah dari Rasulullah sendiri agar merapatkan
saf-saf dalam berjemaah dengan merapatkan bahu, sedang tidak perintah
dari Rasulullah sendiri agar menempelkan kaki antara para jemaah.
Hadith yang meriwayat tentang cara menempelkan kaki antara jemaah
hanyalah ucapan beberapa sahaba akan cara mereka bersolat berjemaah
yang begitu rapat sehingga menyentuh kaki mereka, bukan perintah
terus dari Rasulullah s.a.w.
Berkata
Nu’man bin Basyir : aku melihat seorang laki-laki dari kami
menempelkan mata-kaki dengan mata-kaki temannya...
Hal
itu ( menempelkan ) adalah perbuatan sebahagian shahaba yang
disetujui/didiamkan/tidak diingkari oleh Naby shollalohu alaihi
wasallam , maka ia adalah Sunnah
Taqririyah dan
tidak jatuh wajip hukumnya. Dalam mana, bahawa taqrir dari Naby
shollallohu alaihi wasallam terhadap apa yang dilakukan atau
dikatakan di hadapan beliau shollallohu alaihi wasallam, tidak
menunjukkan satu hukum saja ; wajib atau mandub atau mubah. Juga
terdapat perbezaan antara ( taqrir ) sebagai dasar hukum dengan (
taqrir ) atas ziyadah
/ tambahan
terhadap hukum.Yang hal itu dapat ditelusuri dengan meneliti dan
mengetahui asbab
wurud dalil-dalil
dan bagaimana metodologi istinbath hukum darinya dengan tinjauan
komprehensif terhadap maqashid
syariah.
Keduanya,
perbuatan ini tidak terus-menerus dilakukan para shahaba, kerana
mereka mencukupkan dengan apa yang ditunjukkan oleh nash-nash
iaitu pemahaman terhadap maksud yang terkandung dalam dalil-dalil
masalah meluruskan shaf dan menegakkannya.
Ibnu
Hajar rahimahulloh berkata ;Yang dimaksud adalah mubalaghoh (
bersungguh-sungguh dalam meluruskan shaf dan menutup celah ).
Jika ia (
menempelkan kaki ) adalah sunnah yang dianjurkan tentu para shahabat
tidak akan meninggalkannya- jika benar mereka mempraktekannya-.Bahkan
perawi sendiri ( Anas bin Malik radhiyallohu anhu ) meninggalkannya (
menempelkan ) .Anas radhiyallohu anhu berkata ;
لو
فعلت ذلك بأحدهم اليوم لنفر، كأنه بغل
شموس
Ertinya ; jika aku
melakukannya ( menempelkan kaki ) kepada seorang dari mereka hari ini
niscaya ia lari seperti bighal yang kepanasan.
Apakah
mungkin para sahaba meninggalkan sunnah ini hanya kerana insan lain tidak
mahu melakukannya? Jika memang kerana kekurangan kepedulian shahabat
ini, bagaimanakah pula dengan imam-imam madzhab serta seluruh pengikut
madzhab ASWJ, apakah mereka seluruhnya meremehkan sunnah ini sehingga
tidak menjaganya ?
Yang benar adalah
bahawa para salaf dari shahabat dan tabi’ien dan para imam
mujtahidien jika mereka tidak memahami bahawa perbuatan yang
merupakan tambahan terhadap perintah syariat ini selain perkara yang
ja’iz ( boleh ) saja, tentu mereka semua tidak akan
meninggalkan perbuatan ini, bahkan diantaranya adalah perawinya
sendiri, seperti yang telah dijelaskan di atas. Perlu diperhatikan bahawa tidaklah semua
yang ditaqrir dari perbuatan shahabat adalah menjadi sunnah yang
diperintahkan, khususnya yang datang dalam bentuk ijtihad tambahan
atas nash. Dan bahawa taqrir dapat menghasilkan hukum yang
berbeza-beza, jika tidak demikian maka makan dhobb ( sejenis
biawak padang pasir ) adalah sunnah yang dianjurkan, kerana terjadi
dengan disaksikan Naby shollallohu alaihi wasallam.(Tentunya tidak
demikian).
Mereka memahami
bahawa maksud Naby shollallohu alaihi wasallam adalah ;
1. Kesempurnaan shaf
dan lurusnya, yaitu satu shaf yang tidak berserabut. Berupa
setentangnya antara bahu makmum dan lurus shafnya.
2. Saling berdekatan
dan tidak membiarkan ruang luas antara makmum agar syaithon tidak
memasuki shaf-shaf orang yang shalat, sebagaimana datang dalam hadits
–hadits yang banyak dalam masalah ini.
Adapun yang lebih
dari itu ( yakni menempelkan kaki antara makmum), bukanlah berhukum
wajip, sekiranya ada kalangan melakukan sesama mereka, lakukan namun
jangan memaksa pihak lain serta menyibukkan hati orang yang sholat
dari apa yang seharusnya iaitu khusyu’ dan menghadirkan hati.
Menyibukkan hati untuk mengejar ( kaki ) orang yang berada di sebelah
kanan atau kirinya, agar menempel pada seluruh gerakan dan diam
sholat, ini menyebabkan gangguan orang lain yang sholat (
disampingnya ).
- -
Bukannya meluruskan shaf ketika hendak sholat dengan mendekati
sebelah kanan atau kirinya justru ia membuat jarak dengan membuka
lebar kedua kaki yang menghalangi dari saling mendekat selain dengan
cara menginjak kaki tetangganya. Dan jika ruku atau sujud maka akan
terjadi celah yang telah diperingatkan syariat darinya .
- -
Saiz-saiz antara insan-insan juga amat berbeza-beza, ada yang tinggi
dan besar tubuhnya, ada yang kurus kerdil, ada yang kerdil tetapi
bidang dadanya dan seterusnya yang mana menjatuhkan hukum wajip
menempelkan kaki antara makmum adalah suatu kesilapan. Tambahan
lantaran bentuk kaki contohnya mereka yang bekerja sebagai buruh
binaan berkaki besar dan kasar dengan kuku yang panjang
jika ditempelkan dengan kaki normal maka jelas akan menghilangkan
kesempatan tetangganya untuk mentadabburi shalatnya.
- -
Termasuk kebodohan dalam hal ini adalah berlebihannya sebahagian
orang dalam membuka kaki dan mengangkat tumit.Miring kedepan dan
mengangkat bagian belakang tubuh, bahkan terkadang disertai
gerakan-gerakan aneh yang tidak ada nash atau dalilnya.
- -
Terpaksa bagi seorang yang ingin menempelkan mata kakinya dengan mata
kaki tetangganya untuk menghadapkan kaki kedalam sehingga mampu
menempel. Sebab bentuk kedua telapak kaki tentu menghalangi dari
menempelkan mata kaki kecuali dengan memiringkan telapak kaki ke arah
dalam, dan agar bisa menempelkan kedua lutut.Tampak jelas bahwa
posisi berdiri yang demikian tidak ada hubungan sama sekali dengan
ruh shalat dan khusyu’, bahkan dapat memalingkan perhatian seorang
dari ibadahnya.
- -
Terlebih lagi jika ditambah dengan perasaan ujub, merasa paling baik
dengan mengamalkan gerakan ini, maka dikhuatirkan seseorang tersebut
tidak mendapatkan apa-apa dari sholatnya selain kerugian.
Posisi
kaki ketika berdiri dalam shalat seperti posisi kaki ketika berdiri
biasa, tidak terlalu rapat dan tidak terlalu renggang, sebagaimana
diriwayatkan Ibnu Umar Radhiallaahu anhuma, ini disebutkan dalam
Syarh As-Sunnah, bahawa-sanya beliau ketika berdiri shalat tidak
terlalu merenggangkan kaki atau merapatkannya, demikian pula ketika
ruku’.
Rasullulah
saw memerintahkan kita untuk merapatkan shaf dan menghindari
kerenggangan, setelah rapat maka bersentuhan antara bahu, sedemikian
diriwayatkan dalam banyak hadits, sedang riwayat menempelkan kaki
antra makmum hanya merupakan Sunnah
Taqririyah , iaitu dilakukan oleh sebahagian para sahabat tanpa
riwayat bahawa ianya adalah perintah terus dari Rasulullah s.a.w.
Lantaran itu, dalam merapatkan shaf-shaf, bukan
memaksakan pada yang disamping kita untuk bersentuhan kaki tetapi
menggeser agar kerenggangan tertutup, rapatkan bahu-bahu dengan cara
melembutkan bahu dan meluruskan shaf.
Hal
yang utama adalah kekhusyukan sholat, dan renggangnya shaf tidak
membatalkan sholat, hanya merupakan hal yang makruh (demikian menurut
ulama Madzhab Syafii), maka janganlah memaksakan diri mahupun makmum
disebelah apatah lagi dengan menegurnya dengan keras, ditakutkan ia
akan shalat dengan hatinya penuh kekesalan pada kita dan tiada
kekhusyukan dalam sholatnya terutama dalam setiap pergerakkan,
ditempelkan kaki kepada makmum tersebut, sehingga kaki kelihatan
saling bersentuhan namun hati antaranya saling bermusuhan dan
tentunya ini salah besar dan berakibat lebih buruk.
“Apabila Imam telah berdiri berkhutbah pada hari
Jum’at, maka dengarkanlah dengan seksama dan diamlah, kerana hukum
orang yang dapat mendengarkan khutbah sama halnya dengan mereka
yang tidak dapat mendengarkannya (yakni; sama-sama diperintah untuk
diam dan mendengar). Bila dikumandangkan qamat, maka rapikanlah shaf
(makmum), dan sejajarkanlah bahu-bahu mereka; kerana lurus (dan
rapatnya) shaf termasuk hal yang dapat menyempurnakan shalat”.
(Diriwayatkan pula oleh Malik di Muwaththa’ no. 234).
Posisi kaki dalam sholat - 1
Posisi kaki dalam sholat ketika sujud, duduk antara dua sujud dan duduk
tahiyat:
Dari
Abu Humaid As Sa’idi -radhiallahu anhu- dia berkata:
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
“Aku
adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam: Aku melihat beliau ketika bertakbir,
beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan pundaknya.
Jika beliau ruku’ maka beliau menggenggam erat kedua lututnya dan
meluruskan punggungnya. Jika i’tidal maka beliau berdiri
tegak hingga seluruh tulang punggungnya kembali pada tempatnya
semula. Jika sujud maka beliau meletakkan tangannya dengan tidak
menempelkan lengannya ke tanah dan tidak pula mendekatkannya ke
badannya, dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari
kakinya ke arah kiblat. Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk
di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan jika
duduk pada rakaat terakhir, maka beliau mengedepankan (baca:
memasukkan kaki kirinya di bawah kaki kanannya) dan menegakkan kaki
kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya (lantai).”
(HR. Al-Bukhari no. 828 )
Dari Aisyah -radhiallahu’anha- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ { الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلَاةَ بِالتَّسْلِيمِ
“Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam selalu membuka shalatnya dengan takbir
dan bacaan, ‘Alhamdulillahirabbil alamin’ (al-fatihah). Dan
apabila beliau ruku maka beliau tidak terlalu menundukkan kepalanya
dan tidak pula terlalu mengangkatnya, akan tetapi beliau menundukkan
kepalanya di antara itu. Apabila beliau mengangkat kepalanya dari
ruku’, maka beliau tidak bersujud hingga beliau berdiri tegak. Dan
apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud maka beliau tidak
sujud kembali hingga duduk sempurna. Beliau membaca ‘tahiyyat’
pada setiap dua raka’at. Beliau menghamparkan kaki kirinya dan
menegakkkan kakinya yang kanan. Dan beliau melarang duduk seperti
duduknya setan, dan beliau melarang seseorang menghamparkan kedua
dzira’ sebagaimana binatang buas menghamparkannya (yakni dengan
merapatkan dzira’ ke lantai). Dan beliau menutup shalatnya dengan
salam.” (HR. Muslim
no. 498) - Dzira’ adalah siku sampai ujung jari tengah.
“Diriwayatkan
dari Aisyah, ia berkata; adalah Rasulullah saw. memulai shalatnya
dengan (mengucapkan) takbir dan (melanjutkan) dengan (bacaan)
Alhamdu lillahi rabbil’alamin. Apabila beliau ruku’, maka tidak
mengangkat kepalanya dan tidak pula merendahkannya, tetapi
eliau melakukannya dengan tengahtengah (lurus). Apabila beliau
mengangkat kepalanya dari ruku’ (bangkit), beliau tidak
(segera) sujud sampai berdiri tegak. Dan apabila beliau mengangkat
kepalanya dari sujud, maka beliau pun tidak (segera) sujud
(yang kedua) sampai beliau sempurna duduknya, dan pada setiap dua
rakaat beliau membaca “at-Tahiyat” dan (pada saat itu)
beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.
Beliau melarang (orang shalat) duduk di atas kedua tumitnya dan
melarang pula seseorang menghamparkan kedua hastanya hamparan
binatang buas, dan beliau mengakhiri shalatnya dengan membaca
salam.” (HR Muslim; kitab as- Shalat, bab Maa Yajma’u shifat
as-Shalat)
“Diriwayatkan
dari Abu Humaid as-Sa’idy ia berkata, adalah Nabi saw apabila
beliau duduk pada rakaat kedua dimana shalat berakhir, beliau
memajukan kaki kirinya dan duduk pada bagian kirinya dengan cara
tawarruk, lalu ia mengucapkan salam”. (HR an-Nasa’i, Kitab
as-Sahwi, Bab Sifat al-Julus fi ar-Rak’ati allati yaqdhi fiiha
as-Shalat)
Dengan memperhatikan Hadits-Hadits tentang tata cara sholat di atas, dapat disimpulkan bahawa duduk dalam pelaksanaan shalat ada dua macam, iaitu:
Pertama, duduk iftirasy, yaitu duduk dengan cara duduk di atas telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan ditegakkan.
Dengan memperhatikan Hadits-Hadits tentang tata cara sholat di atas, dapat disimpulkan bahawa duduk dalam pelaksanaan shalat ada dua macam, iaitu:
Pertama, duduk iftirasy, yaitu duduk dengan cara duduk di atas telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan ditegakkan.
Kedua, duduk tawarruk, yaitu duduk dengan cara memajukan kaki kiri di bawah kaki kanan dan menegakkan telapak kaki kanan.
Berdasarkan kemiripan matan dan kesamaan isi, dalil hadits-hadits tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, iaitu:
1. Kelompok pertama (Hadits no.1). Dalil Hadits ini menunjukkan adanya duduk istirahat ketika akan berdiri dari rakaat ganjil (rakaat pertama dan tiga).
2. Kelompok kedua (Hadits no. 2 dan3). Dalil kedua Hadits tersebut menunjukkan bahawa Nabi saw pada setiap 2 rakaat membaca at-tahiyat (tasyahud) dan duduk dengan cara duduk iftirasy, dan Nabi melarang duduk di atas kedua tumitnya dan melarang pula kepada orang yang sholat menghamparkan kedua hastanya seperti binatang.
3. Kelompok ketiga (Hadits no.4-5). Dalil kedua Hadits tersebut menjelaskan apabila beliau duduk pada rakaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy) dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kiri (di bawah kaki kanan) dan menegakkan kaki kanannya (duduk tawarruk).
Secara lahiriyah (tekstual) Hadits no. 3 (Hadits riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) menunjukkan bahawa pada setiap dua rakaat membaca “at-Tahiyyat” atau “tasyahud” dan duduk dengan cara duduk iftirasy. Pemahaman ini tidak tepat kerana pada Hadits lain seperti pada Haditsno. 4, Hadits riwayat al-Bukhari melalui Abu Hamid as-Sa’idy menjelaskan bahawa beliau (Abu Hamid) mengetahui betul cara sholat Rasulullah, apabila duduk pada rakaat kedua beliau duduk dengan cara duduk iftirasy dan apabila duduk pada rakaat terakhir duduk dengan cara duduk tawarruk.
Dan pada Hadits no. 5 (Hadits riwayat an-Nasa’i dari Abu Hamid as- Sa’idy menjelaskan bahawa Nabi saw apabila duduk pada rakaat kedua yang merupakan rakaat terakhir duduk dengan cara duduk tawarruk. Menurut kami Hadits no. 3 (Hadits riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra) tidak difahami secara kemutlakannya, akan tetapi harus dihubungkan dengan pemahaman terhadap Hadits lainnya (seperti Hadits no. 4 dan 5) yang semakna.
Dengan demikian untuk memahami Hadits tersebut (Hadits no. 3, Hadits riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra) perlu dikaitkan dengan pemahaman terhadap Hadits lainnya, dan menurut kami pemahaman semacam ini lebih tepat.
Oleh kerana itu, pemahaman terhadap Hadits tersebut (Hadits no. 3, Hadits riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) adalah cara duduk pada raka’at kedua yang bukan merupakan rakaat terakhir dengan cara duduk “iftirasy”, sedang duduk pada rakaat kedua dan rakaat tersebut merupakan rakaat terakhir (yang diakhiri dengan mengucapkan salam), maka duduknya dengan cara duduk “tawarruk” (memasukkan kaki kiri di bawah kaki kanan, dan menegakkan jari-jari kaki kanan serta duduk di lantai). Pemahaman seperti ini dikuatkan dengan pemahaman dari beberapa Hadits yang menjelaskan bahawa cara duduk pada rakaat terakhir (baik jumlah rakaatnya 2, 3 atau 4) dengan cara duduk “tawarruk”.
Dengan mengkaji ulang pemahaman terhadap Hadits-Hadits
tersebut dapat disimpulkan bahawa yang dimaksud dengan kalimat
“raka‘at terakhir” iaitu duduk tahiyat terakhir dalam
shalat, baik shalat tersebut jumlah rakaatnya dua rakaat, tiga rakaat
atau empat rakaat, baik dalam shalat wajib mahupun shalat sunat
yang setelah selesai berdoa lalu ditutup dengan salam. Cara duduk
pada rakaat terakhir tersebut sama, iaitu dengan cara duduk
tawarruk.
Ketika
sujud, sebaiknya posisi telapak kaki yang satu menempel pada telapak
kaki lainnya, keduanya tidak dipisahkan, sebagaimana disebutkan dalam
hadits Aisyah Radhiallaahu anha ketika tangan beliau mengenai kedua
telapak kaki Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang tegak dan beliau
sedang sujud.( Diriwayatkan Muslim; no. 222 dalam kitab Ash-Sholah )
Tidak mungkin satu tangan mengenai kedua telapak kaki yang tegak melainkan kedua telapak kaki beliau bersatu atau berdekatan antara telapak kaki satu dengan lainnya, disamping itu terdapat hadits dalam kitab shahih Ibnu Huzaimah , bahwasanya beliau menempelkan telapak kaki yang satu pada telapak kaki lainnya ketika sujud.( Shahih Ibnu Huzaimah 1/328 (no. 654) dalam Kitab Ash-Sholah)
Tidak mungkin satu tangan mengenai kedua telapak kaki yang tegak melainkan kedua telapak kaki beliau bersatu atau berdekatan antara telapak kaki satu dengan lainnya, disamping itu terdapat hadits dalam kitab shahih Ibnu Huzaimah , bahwasanya beliau menempelkan telapak kaki yang satu pada telapak kaki lainnya ketika sujud.( Shahih Ibnu Huzaimah 1/328 (no. 654) dalam Kitab Ash-Sholah)
Kalangan
yang ulama menyatakan kelebihan cara menempelkan telapak kaki yang
satu pada telapak kaki lainnya ketika sujud terutamanya buat kaum
hawa adalah untuk menutup kemungkinan aurat yang terbuka ketika
sujud. Sekiranya seseorang memakai seluar, ianya mungkin tidak
menjadi masaalah tetapi buat mereka yang memakai kain sarung, kain
batik dan sesuatu yang sepertinya, risiko terdedahnya kawasan seperti
dari kaki sehingga kepala lutut adalah wajar sahaja terjadi.
Bagaimana
pun buat kaum lelaki, ianya tidaklah menjadi masaalah kerana aurat
buat kaum lelaki bermula dari kepala lutut. Lantaran
itu, sebahagian berpendapat : Sunnahnya adalah merenggangkan antara
keduanya. Hal ini adalah merupakan madzhab syafi’iyyah
dan hanabilah.
(Raudhoh Tholibin,
Nawawi Rahimahullah 1/259, Mukhtashar Ifadat
hlm. 93) manakala sebahagian mengatakan : sunnahnya adalah
merapatkan kedua kaki saat sujud hal ini adalah dari madzhab hanafiyyah.
(Hasyiyah Ibnu Abiddin
1/332)
Subscribe to:
Posts (Atom)
open source - sumber terbuka
Mana-mana coretan yang dikira baik, dibenarkan mengambil (copy-paste) tanpa perlu bertanya tuan blog ini. Manakala mana-mana coretan yang terdapat kesilapan, mohon ribuan kemaafan dari tuan blog ini. - " Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya "
Tajuk
Akidah
(13)
Al-Fatihah
(2)
Alam
(1)
ASWJ
(3)
Bab Eid
(2)
bayan
(6)
BERITA
(5)
beware fitnah
(1)
book
(1)
Burzuk
(5)
cerpen
(7)
Dakwah dan doa
(2)
dars
(1)
Differences
(1)
Doa
(1)
fatwa
(2)
Fazail amal
(1)
Fazail Hajj
(2)
fikir
(4)
fikir/zikir
(1)
fiqh
(6)
fitnah
(1)
Gurauan
(3)
Hijrah
(4)
hilal
(1)
ibadat
(15)
Ikhtilat
(1)
ilham
(1)
Ilmu
(1)
imam
(1)
Imam Mazhab
(9)
Islam
(1)
Israk
(7)
janggut
(1)
Jesus was a Muslim
(1)
Jihadun nafs
(4)
Jinn
(10)
Jord
(1)
kalam
(1)
Karamah
(1)
KIblat
(1)
kisah Auliya
(3)
kisah-kisah
(4)
konflik
(4)
Kuarantin
(2)
makna bidaah dholalah
(1)
malfoozaat
(3)
Mawlid
(2)
mazhab
(5)
minda
(1)
nasihat
(2)
pemahaman
(6)
penolakan terhadap anti-hadith
(1)
penyakit
(1)
Prophet Muhamad s.a.w
(1)
puasa
(1)
Quran
(3)
Ramadan
(4)
sahaba
(2)
salam
(1)
salawat
(1)
shalat
(4)
sholat
(4)
Syair
(1)
Syurga-neraka
(1)
Tabligh
(1)
Tafsir
(6)
tiada Tuhan melainkan Allah
(1)
travel
(1)
Ummatan wahidah
(1)
Zakat-ul-Fitr
(2)
zikir
(7)
paut-paut
- Al-Alorstari blog
- Alexanderwathern blog
- Aqidahtul Tanzih blog
- Azhar Jaafar blog
- Bahrus Shofa blog
- Bentara blog
- Blog karkun
- chill-garage blog
- Dakwah-ilallah blog
- Dalamdakwah wordpress
- Fakir-fikir blog
- Fikir alami blog
- Hainur83 blog
- Ibnu Zain blog
- Iman-amal solehan wordpress
- Ismadi Yusuf blog
- Jom faham blog
- Khidmat Wala blog
- Kopiahhensem blog
- Kuffiyah blog
- Muhajier718 blog
- Musa Kola Kedah blog
- Pena maya blog
- Pengutip Mutiara
- Speedweb ad6 blog
- Sufiafriqiyya blog
- Umma-ali blog
- Ust Alimy Zaidi
- Ust Gunawan Aziz
- zar4art blog
- ziarah76 blog
Bayan
Search in the Hadith |
www.SearchTruth.com |
Waktu sholat
English to Arabic to English Dictionary |
|
www.SearchTruth.com |